![]() |
Jalan Desa Plandirejo |
Perbedaan Definisi Desa Menurut Undang-undang
Kita ketahui bersama bahwa desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang tinggal di suatu tempat yang memiliki batas-batas tertentu yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi masyarakat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan NKRI. Dibeberapa tempat desa juga disebut sebagai nagari/negeri (Sumatra Barat), Gampong (Aceh), Kampung (Banten dan Jawa Barat), Dusun (Yogyakarta), Banjar (Bali) dan lain-lain. Desa merupakan wilayah administratif dalam sistem Pemerintahan Indonesia di bawah Kecamatan.
Sebagian besar masyarakat di Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Masyarakat di desa pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan oleh itu disebut desa agraris. Namun ada pula desa-desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan khususnya desa-desa di wilayah pesisir sehingga disebut desa nelayan. Selain itu ada juga desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga yang disebut sebagai desa industri. Desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap desa melalui produk hukumnya berupa undang-undang terlihat begitu kompleks. Kompleksitas tersebut dibuktikan dengan silih bergantinya undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sejak zaman Orde Baru hingga reformasi setidaknya pemerintah telah empat kali melakukan pergantian undang-undang untuk mengatur tentang desa. Dimulai dari UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan terakhir adalah UU No. 6 Tahun 2014 yang memakan waktu hingga 7 tahun dalam pembahasannya.
Dari empat Undang-undang tersebut desa didefinisikan secara beragam, meskipun secara subtansial keempat definisi tersebut tidak berbeda jauh. Namun konsekuensi perbedaan definisi tersebut berpengaruh cukup signifikan terutama pada wewenang yang dimiliki oleh desa. Perbandingan definisi desa menurut keempat undang-undang tersebut dapat dilihat di bawah ini :
1. UU No. 5 Tahun 1979
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejulah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. UU No. 22 Tahun 1999
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.
3. UU No. 32 Tahun 2004
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilavah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. UU No. 6 Tahun 2014
Desa adalah desa dan desa adat atau yang yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan definisi di atas terlihat kontras pada UU No. 5 Tahun 1979, di mana desa dianggap sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk. Desa hanya diposisikan hanya sebagai sebuah tempat masyarakat tinggal dan hidup. Kata “wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk” kemudian dihilangkan dalam tiga UU selanjutnya. Bahkan dalam UU terbaru yakni UU No. 6 Tahun 2014 terdapat penambahan menjadi "desa adat". Penggunaan kata "desa adat" ini sebagai bentuk akomodasi oleh pemerintah terhadap beberapa desa di daerah yang memiliki keunikan dan berbeda dari desa pada umumnya (desa adat). Selain itu, perbedaan definisi pada setiap UU juga terlihat pada wewenang untuk mengatur pemerintahannya. Pada UU No. 5 Tahun 1979, desa tidak diberikan hak penuh dalam mengelola pemerintahannya, namun berada di bawah Camat.
Pada dua UU berikutnya desa diberikan kewenangan lebih luas (otonomi) untuk mengurus daerahnya berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat. Kata "asal-usul" tersebut dianggap menutup pintu partisipasi masyarakat, sehingga kata tersebut diubah menjadi "prakarsa" dalam UU terbaru. Dengan menggunakan kata prakarsa diharapkan dapat mampu membuka partisipasi seluas-luasnya terhadap masyarakat.
Pustaka : Materi Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Manajemen dan Pengelolaan Keuangan Bagi Kepala Desa dan Camat di Wilayah Jawa Timur